Oh...Mataku..
"Bu Kania!" Nama saya sudah dipanggil oleh asisten dokter mata. Saya masuk ke ruangan di sebelah kiri saya. Saya menempelkan dagu pada sebuah alat pemeriksa mata yang saya tak tahu namanya. Lalu beralih ke alat satu lagi. Kali ini saya merasakan mata saya seperti ditiup. Wusss..
"Bu Kania!" Lagi, nama saya dipanggil. Saya masuk ke sebuah ruangan di sebelah kanan saya. Saya duduk dan sang asisten memakaikan kacamata. Berkali-kali lensa diganti sampai saya menemukan lensa yang tepat. Saya disuruh berjalan-jalan dan melihat suasana di sekitar.
"Bu Kania!" Untuk ketiga kalinya saya dipanggil. Sekarang ke ruangan dokter mata. Saya tak terkejut saat dokter bilang mata kanan saya minus 16! Ya, sebelumnya saya periksa di optik terdekat malah tak terdeteksi minus di mata kanan saya. Tapi karena selisih minus dengan mata kiri lebih dari tiga, maka sebagian minus di mata kanan harus ditolong dengan lensa kontak. Karena retina mata yang tipis, tidak memungkinkan bagi saya jika hendak melakukan operasi lasik. Di usia 50 tahun saat saya mulai katarak, saya bisa melakukan operasi penggantian lensa mata dan minus saya akan berkurang. Itu berarti masih belasan tahun lagi.
Saya diam. Saya pasrah apapun yang dikatakan dokter. Sebenarnya, antara pasrah dan takut. Beberapa waktu belakangan ini, saya agak takut pergi ke dokter. Seiring bertambah usia, bertambahnya hal yang harus dihadapi, saya takut mendengar vonis ini dan itu dari dokter.
Jika menengok ke belakang, saya justru harusnya akrab dengan yang namanya paramedis ini. Saat usia pra sekolah, saya sering kena bisul di tangan yang membuat orangtua harus mengejar-ngejar saya untuk mengeluarkan kotoran dari bisul itu. Saat SD saya langganan typus dan hanya pak Dokter Jojo, dokter dekat rumah, yang mau saya temui. Saat SMA saya bolak balik ke dokter kulit karena kulit sensitif saya penuh jerawat yang tak kunjung sembuh. Saat bekerja, saya pernah terkena virus yang membuat punggung saya penuh dengan bintik merah. Dan dua tahun lalu saya pernah terkena infeksi kelenjar.
Sudah. Cukup sudah rasanya hidup menyusahkan orang lain. Orangtua, dan kini suami. Inginnya saya bilang, sudah, tak usah hiraukan saya. Saya akan kuat. Asal cukup mengerti saja saat saya berada di bawah. Tapi tentu saja itu tak terjadi. Orangtua di manapun pada umumnya akan rela menempuh jarak jauh atau mengeluarkan banyak dana agar anaknya sehat walafiat. Begitu juga pasangan kita. Akhirnya harus menerima saat mereka memaksa diri kita untuk memeriksakan diri ke dokter.
Dia, ayahnya anak-anak saya, banyak terdiam saat kami berjalan pulang dari rumah sakit. Pasti dalam benaknya banyak hal yang dipikirkan. Saya juga diam dan tak banyak bertanya.
Sudah. Inginnya saya bilang, sudahlah jangan terlalu dipikirkan. Saya sudah cukup bersyukur dengan apa yang saya miliki saat ini. Kalau sudah saatnya, apapun upaya kita tak akan menghalangi Pemilik mengambil punya-Nya. Kalau boleh memilih, tak mau dipusingkan dengan pergi ke dokter. Saya juga cukup bahagia melihat senyum di wajah orang-orang tersayang. Hanya ingin menikmati hidup. Walau demikian, dalam hati saya kadang berteriak, Ya Allah..angkat semua penyakit lahir dan batin dari diri kami.
Tak ada sesuatu pun yang terjadi jika kita tak turut andil di dalamnya. Saya sadari itu. Semua yang saya alami pasti ada penyebab yang saya timbulkan. Selain genetis, mata minus bisa disebabkan karena pola membaca yang kurang baik dan kurangnya asupan vitamin A.
Walau sangat terlambat untuk saya memperbaiki diri tapi tidak untuk anak-anak saya. Waktu mereka untuk bermain gadget harus berkurang. Usaha saya agar mereka mau makan sayur dan buah harus semakin keras. Posisi dan jarak baca buku mereka harus selalu diiingatkan. Dan sebagainya.
Hhh..PR saya banyak ternyata.
"Bu Kania!" Lagi, nama saya dipanggil. Saya masuk ke sebuah ruangan di sebelah kanan saya. Saya duduk dan sang asisten memakaikan kacamata. Berkali-kali lensa diganti sampai saya menemukan lensa yang tepat. Saya disuruh berjalan-jalan dan melihat suasana di sekitar.
"Bu Kania!" Untuk ketiga kalinya saya dipanggil. Sekarang ke ruangan dokter mata. Saya tak terkejut saat dokter bilang mata kanan saya minus 16! Ya, sebelumnya saya periksa di optik terdekat malah tak terdeteksi minus di mata kanan saya. Tapi karena selisih minus dengan mata kiri lebih dari tiga, maka sebagian minus di mata kanan harus ditolong dengan lensa kontak. Karena retina mata yang tipis, tidak memungkinkan bagi saya jika hendak melakukan operasi lasik. Di usia 50 tahun saat saya mulai katarak, saya bisa melakukan operasi penggantian lensa mata dan minus saya akan berkurang. Itu berarti masih belasan tahun lagi.
Saya diam. Saya pasrah apapun yang dikatakan dokter. Sebenarnya, antara pasrah dan takut. Beberapa waktu belakangan ini, saya agak takut pergi ke dokter. Seiring bertambah usia, bertambahnya hal yang harus dihadapi, saya takut mendengar vonis ini dan itu dari dokter.
Jika menengok ke belakang, saya justru harusnya akrab dengan yang namanya paramedis ini. Saat usia pra sekolah, saya sering kena bisul di tangan yang membuat orangtua harus mengejar-ngejar saya untuk mengeluarkan kotoran dari bisul itu. Saat SD saya langganan typus dan hanya pak Dokter Jojo, dokter dekat rumah, yang mau saya temui. Saat SMA saya bolak balik ke dokter kulit karena kulit sensitif saya penuh jerawat yang tak kunjung sembuh. Saat bekerja, saya pernah terkena virus yang membuat punggung saya penuh dengan bintik merah. Dan dua tahun lalu saya pernah terkena infeksi kelenjar.
Sudah. Cukup sudah rasanya hidup menyusahkan orang lain. Orangtua, dan kini suami. Inginnya saya bilang, sudah, tak usah hiraukan saya. Saya akan kuat. Asal cukup mengerti saja saat saya berada di bawah. Tapi tentu saja itu tak terjadi. Orangtua di manapun pada umumnya akan rela menempuh jarak jauh atau mengeluarkan banyak dana agar anaknya sehat walafiat. Begitu juga pasangan kita. Akhirnya harus menerima saat mereka memaksa diri kita untuk memeriksakan diri ke dokter.
Dia, ayahnya anak-anak saya, banyak terdiam saat kami berjalan pulang dari rumah sakit. Pasti dalam benaknya banyak hal yang dipikirkan. Saya juga diam dan tak banyak bertanya.
Sudah. Inginnya saya bilang, sudahlah jangan terlalu dipikirkan. Saya sudah cukup bersyukur dengan apa yang saya miliki saat ini. Kalau sudah saatnya, apapun upaya kita tak akan menghalangi Pemilik mengambil punya-Nya. Kalau boleh memilih, tak mau dipusingkan dengan pergi ke dokter. Saya juga cukup bahagia melihat senyum di wajah orang-orang tersayang. Hanya ingin menikmati hidup. Walau demikian, dalam hati saya kadang berteriak, Ya Allah..angkat semua penyakit lahir dan batin dari diri kami.
Tak ada sesuatu pun yang terjadi jika kita tak turut andil di dalamnya. Saya sadari itu. Semua yang saya alami pasti ada penyebab yang saya timbulkan. Selain genetis, mata minus bisa disebabkan karena pola membaca yang kurang baik dan kurangnya asupan vitamin A.
Walau sangat terlambat untuk saya memperbaiki diri tapi tidak untuk anak-anak saya. Waktu mereka untuk bermain gadget harus berkurang. Usaha saya agar mereka mau makan sayur dan buah harus semakin keras. Posisi dan jarak baca buku mereka harus selalu diiingatkan. Dan sebagainya.
Hhh..PR saya banyak ternyata.
Saya minus 4 mak, ini juga udah lumayan bikin saya tergantung dengan kacamata..
ReplyDeleteMudah-mudahan Mak Kania dapat solusi terbaik dari Allah, aamiin :) jangan sedih mak, optimis ya..
A amiiiin..makasih mak support nya..
DeleteMata kiriku Mak, dr kecil ga bisa melihat dgn sempurna. Dokter mata waktu aku kecil sampe ga tau aku minus brp. Pas aku kuliah, sempat dapet minusnya, tp gede. Aku sampe lupa berapa, ga sampe belasan kayaknya sih, mungkin sekitar 9-10 gitu ya. Aku suka pasrah aklo mau ke dokter mata, aku takut nangis lagi. Skrg aku oake kacamata untuk mbantu yg kanan karena udah mulai minus satu. Sementara yg kiri dibiarin kosong lensanya.
ReplyDeleteAku kira aku doang yg ngalamin begini, Mak. Aku sampe down loh waktu dikasih kacamata terapi pas kuliah itu. Aku jarang pake. Pas aku pake, anak2 kosan pd ngeledek aku. Aku sediiih banget waktu itu. Mereka enak matanya normal2 semua. Tapi ga boleh seenaknya gitu aja ding ngeledek kacamataku yg keliatannya kayak pembajak laut. >_<
Sabar ya, Mak. Mamaku selalu nangis klo udh mikirin mataku. Meski aku udh segede ini dan udh punya anak, ttp aja mamaku selalu sedih kalo liat mataku. :(
Semiga kita bisa dapet penglihatan yg baik ya, Mak. Aamiin. ^_^
Aamiiin..saya tak sendiri ternyata mak..
DeleteMoga semakin berkurang ya mak minusnya, saya minus 1 tapi males pake kacamata
ReplyDeleteKalo masih 1 masih bisa dijaga dengan asupan vitamin A ya mak biar ga nambah..
DeleteMata saya juga sudah mulai kabur mba tapi belum periksa, alasannya simple, males ntar kalo pake kacamata
ReplyDeleteSaya gitu juga mak kalo periksa sebenarnya males soalnya pasti nambah. Hiks
Deletecoba diterapi daun sirih mak...:)
ReplyDeleteDiminum air rebusannya mak?
DeleteAku minus 5 kupikir sudah tebel ternyata minus bisa sampai belasan ya mak? agak takut juga nih .. tiap tahun nambah mulu
ReplyDeleteEntahlah mak saya juga heran bisa belasan gitu..dijaga makbiar ga nambah
DeleteYang saya ingat hanya satu mak.. Allah tidak akan menimpakan suatu cobaan kepada makhlukNya dimana makhlukNya itu tidak bisa menanggungnya..
ReplyDeleteYang sabar Mak.. :) Ini mungkin salah satu wujud kasih sayang Allah untuk Mak.. :)
Iya mak. InsyaAllah sy bisa melaluinya..
DeleteGak dilasik aja, Nia biar hilang semua minusnya? Biayanya memang lumayan sih, tapi udah banyak banget itu minusnya ya? Aku udah lepas kacamata dan minus gak nambah-nambah, alhamdulillah. Katanya, memang jangan bergantung dg kacamata krn minus jd terus bertambah. Latihan melihat jauh. Tapi Nia udah banyak banget. Aku inget dulu Nia susah liat deket pun.
ReplyDeletedulu sempat latihan dan lama ga ganti kacamata. Skrg karena patah periksa lagi ternyata baru ketauan minus yg kanan besar bgt.
Deleteass mba Nia. ijin link blognya ya...
ReplyDeleteWaalaikumsalam..silahkan
Deletekeponakan sy baru kelas 3 sd,mata kirinya minus 16 juga mak,mata kanan 14 dan skrg baru selesai operasi mata/retina nya.ketauan nya pas tk,entah faktor apa ya mak soal'y klo secara genetik di kel bpk dan ibu nya tdk ada yg minus/gangguan mata lainnya.apapun itu.. semangat ya mak smg diberikn kesabaran dan kesembuhan,aamiin...
ReplyDeleteAduh kasian baru kls 3 semoga keponakannya sabar dan terus semangat yaa..
DeleteAlhamdulillah, mata saya normal. Tapi Ibu, punya masalah dengan penglihatannya sejak beliau kecil. Udah periksa kemana-mana gak ada yg bisa mastiin ada apa dengan mata Ibu saya ini, Mak. Katarak bukan, memang ada minus, tapi kacamata pun gak ada yang pas. Kasian liat Ibu berpuluh2 tahun struggle dengan penglihatannya. Sampai akhirnya Ibu nyampe ke titik ikhlas dengan keterbatasannya. Eh, tapi malah jadi produktif loh, Mak. Katanya semua pakai insting dan ingatan aja.
ReplyDeleteTetap semangat ya, Mak. Selalu ada hikmah di balik setiap cobaan yang Allah kasih sama kita.
Iya mak ambil hikmahnya aja. Salut dg ibu mak Sary swmoga sy juga bisa seperti beliau tambah produktifnya..
Delete