Kecil-kecil Jadi Imam Shalat


Malam ini ketika saya sedang menuliskan catatan ini, saya sedang merasa bangga dengan anak sulung saya yang berusia enam tahun. Sudah dua hari ini Zaidan, nama anak saya, mau menjadi imam (pemimpin) shalat dalam arti yang sebenarnya. Benar-benar dia yang memimpin, bukan hanya sekedar berdiri di depan saya yang menjadi ma'mum (yang dipimpin).

Sejak batita Zaidan memang suka mengikuti gerakan kami ketika shalat sebagaimana anak kecil lainnya yang dengan cepat meniru orang dewasa. Seringkali kami ajak dia juga ke mesjid untuk shalat berjamaah. Kalau shalat di rumah dia berdiri di depan saya sebagai imam atau di samping ayahnya sebagai ma'mum laki-laki.

Memang saya tidak betul-betul menempatkannya sebagai imam karena Zaidan masih kecil. Saya hanya ingin mengajarkan padanya bahwa kelak dia akan menjadi pemimpin shalat untuk keluarganya, orangtuanya, atau teman-temannya sehingga ketika saat itu datang dia sudah terbiasa. Begini loh nak, pemimpin itu adanya di depan, jadi panutan bagi yang dipimpinnya. Kira-kira seperti itu.

Sampai sebelum dua hari yang lalu, Zaidan masih berdiri di depan saya ketika shalat. Tapi tetap saya yang bergerak terlebih dahulu seperti biasa, baru Zaidan mengikuti gerakan shalat saya sambil tengok-tengok ke belakang takut ketinggalan dan seringkali sambil main-main. Padahal saya sering mengingatkan dia kalau shalat itu seharusnya sungguh-sungguh karena sedang menghadap Allah SWT.

Dua hari yang lalu saya bilang sama Zaidan, "Kakak, coba sekarang kakak yang jadi pemimpin shalatnya, umi yang ikuti kakak. Biar kakak juga baca doa-doa shalatnya." Alasan saya memintanya demikian karena saya yakin dia sudah hafal sebagian besar doa-doa shalat. Dengan diberi tanggung jawab sebagai imam, mau tidak mau dia harus baca doa-doa shalat yang dia hafal.

Zaidan menatap saya dengan ragu, "Nanti umi duluan baca doanya.." "Tidak, ma'mum itu harus ikuti imam (yang baik). Umi ikuti kakak" kata saya.

Alhamdulillah, akhirnya dia mau. Ketika shalat Magrib dan Isya suaranya dikeraskan layaknya imam shalat -kecuali Subuh dia minta membaca doanya dalam hati karena masih mengantuk. Saya lebih bersyukur lagi dia jadi tidak main-main ketika shalat. Ketika sujud, rukuk dan tahiyat, saya dengar bisikannya membaca doa. Tanggung jawab yang diterimanya sebagai pemimpin shalat menjadikannya sungguh-sungguh melaksanakan shalat. Walaupun dia mungkin belum mengerti keutamaan shalat, setidaknya acara main-mainnya ketika shalat berkurang.

Saya bukan ahli pendidikan anak. Saya hanya seorang ibu yang menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Saya ingin anak saya shalat dengan baik karena shalat adalah tiangnya agama. Orang yang agamanya baik mudah-mudahan bisa menjadi pemimpin yang baik, minimal untuk dirinya sendiri.

Beberapa kali saya ajarkan dia doa shalat. Di sekolahnya dia juga belajar doa shalat. Di tempat les ngajinya juga dia belajar doa shalat. Semua gurunya di sekolah dan di tempat les ngajinya adalah perempuan, ibu-ibu dan calon ibu yang terus mengalirkan ilmunya pada calon-calon  pemimpin masa depan. Terimakasih tiada henti pada semua guru yang sudah membantu orangtua mendidik anak-anak Indonesia.

Comments

  1. Terima kasih bunda, jangan lupa artikelnya disubmit ke www.nutrisiuntukbangsa.org ya

    ReplyDelete
  2. wah, mengajarkan ilmu agama sejak dini wajib tuh mak. sukses ya dengan lombanya. saya juga berharap segera jadi ibu, amin

    ReplyDelete

Post a Comment

Terimakasih sudah meninggalkan komentar yang baik dan sopan.

Popular posts from this blog

Rekomendasi Homeschooling Terbaik Untuk Solusi Belajar Anak

Bermain Kartu UNO

Usia Nanggung Bikin Bingung (Memutuskan Kapan Anak Akan Sekolah)

Biaya Masuk SMP Islam di Tangerang Selatan

Berendam Air Panas di Grage Hotel & Spa Kuningan